Pulang sekolah Adi Kartiko menuju rumah gurunya, Samekto.
Anak laki-laki SMP itu langsung ke beranda belakang. Bukan
beranda sebenarnya, itu hanya semacam sanggar seni. Atap rumbia. Di bawahnya
ada meja kayu mahoni yang dibuat sendiri oleh Samekto. Di meja masih berserakan
bahan kerajinan tanah liat. Ada patung kecil manusia yang baru separo
dikerjakan. Adi, demikian Adi Kartiko biasa disebut, menatap patung yang belum selesai. Benda itu
kemudian diambilnya. Anak itu tersenyum.
“Makan dulu Di!” dari belakang anak itu ada yang memerintah.
Anak itu menoleh.
“Siap Pak! Menunya apa Pak?” kata anak itu sambil meletakkan
patung.
“Kucur daun lontop, bumbu brekasak asem manis!” kata Samekto
sekenanya.
Makan bersama muridnya telah menjadi kebiasaan sejak anak
itu kelas 1. Guru yang hanya hidup bersama istri tanpa anak itu telah
menganggap Adi Kartiko, yang akrab dipanggil Adi, menjadi teman. Sejak menetap di desa Kalikuning awal
diangkat jadi guru, sepertinya laki-laki itu menemukan tempat bermain waktu
kecil. Mirip sebuah desa kecil di kaki gunung Slamet. Dan entah mengapa, Adi
seperti menjadi teman kecilnya, sama seperti ketika anak-anak dulu.
“Seperti saranku minggu lalu, setelah lulus SMP ini, kamu
lanjutkan ke pesantren.” kata Samekto
sambil mencolek bumbu pedas.
“Nggak mau! Aku ingin jadi dokter!”
“Sudah terlalu banyak dokter Di.
“Tentara!”
“Negara ini aman Di. Nanti kalau ada pergolakan, bisa saja
kamu masuk wajib militer. Nanti kamu berjuang demi negaramu! Ngerti nggak?”
“Enggak!”
“Ah kamu ini! Jangan brengkunung to!”
“Ya sudah jadi guru saja!”
“Jangan jadi guru! Nanti kaya Bapak ini, nggak punya
apa-apa.”
“Jadi guru enak, seperti Pak Guru. Pagi-pagi memberi makan
ayam. Pukul delapan ke sekolah, jalan kaki, sepatu ditinggal di sekolah. Di
sekolah bermain dengan anak-anak, membuat kerajinan, menanam tanaman, dongeng
..... cerita-cerita lucu, enak Pak jadi guru.”
Samekto tersenyum getir mendengar penuturan muridnya yang
polos. Namun ada rasa kebanggan pula melihat kepolosan murid yang satu ini.
Murid yang tak pernah mengerti bagaimana perjuangan dirinya untuk
mempertahankan hidup bertugas di daerah yang jarang disentuh oleh kebijakan
pemerintah, sekalipun pemerintah daerah.
SMP yang ada hanyalah sebuah SMP filial,dengan murid yang
hanya sedikit. Adi tak tahu jika dirinya
adalah guru honorer. Dan memang tak pernah tahu. Di mata murid-murid, Samekto
adalah guru. Bahkan mungkin guru terbaik di mata murid-muridnya. Mungkin mereka
membandingkan beberapa guru yang tinggalnya di kota jarang datang ke sekolah
terpencil itu.
Kadang ia ingat kota Semarang yang pernah disinggahi dalam
hidupnya. Betapa banyak sahabatnya dulu di IKIP yang memberinya banyak
motivasi, memberi inspirasi, namun sekarang telah putus kontak. Dulu ia kenal
dengan banyak tokoh yang energikterutama dalam dunia seni dan kepenulisan, baik
yang di IKIP maupun di Semarang umumnya.
Ada Aslam Kusatyo, Murywanto Broto, Joko Sunarto, Untung
Surendro, Mahmud “Entong” Hidayat, Ali Ridlo, Ponco Widodo, Timur SS, Barat
Pajar, Triyanto, dan masih banyak
lainnya. Betapa ia ingat Aslam Kussatyo, ketua Teater SS IKIP Semarang, teman
berbentak-bentakan. Sekarang entah dimana. Selentingan kabar, Aslam membuka
sanggar di daerah Kendal dan ia menjadi Begawannya.
Broto sahabatnya juga, selentingan menjadi dosen di
Semarang. Mahmud “Entong” Hidayat, boss perpustakaan kos-kosan, di mana?
Mungkin kembali ke Kudus. Joko Sunarto, yang ia kenal dengan prinsip “Biar
kuliah di IKIP tetapi nggak akan jadi guru”, dulu bahkan pernah KKN bareng di
Wonosobo. Menurut kabar, ahli desain batik itu kini menjadi salah satu tim
motor desain artistik di koran terbesar Jateng. Lainnya Samekto tak banyak
tahu. Ia tak banyak mengakses kabar teman-temannya. Apa boleh buat. Ia tinggal
di daerah blanktanpa signal. Lagi pula baginya, untuk apa membuang kuotadengan
percuma tak ada keuntungan secara ekonomis. Tak mungkin pula ia berbisnis lewat
internet. Sebuah keinginan yang pernah terlintas di benaknya, tetapi langsung
hilang ditelan sebuah kesadaran. Sadar diri. Guru di daerah terpencil, yang ada
hanya alam dan manusia-manusia polos.
“Pak Guru... kenapa melamun?” tanya Adi mengingatkan dirinya
sambil menggoyang-goyangkan pahanya.
“Oh enggaak... enggak... ngggg.. Adi ... kalau ayahmu ingin
kamu jadi apa?” tanya Samekto setelah bebarapa saat tadi terdiam.
“Kata ayah, terserah Pak Guru.”
“Nhaaaa..... ya sudah, kamu nanti ke pesantren.”
“Jadi apa?”
“Jadi orang! Hahaaa!”
“Aaah sekarang juga sudah jadi orang... tidak pantas aku
jadi santri.”
“Kenapa?”
“Namaku tidak islami. Masa nama santri kok Adi Kartiko!
Apalagi kalau aku misalnya aku sudah tua nanti, suruh jadi kyai, Kyai Adi
Kartiko .. heheee...... lucuuuuu hahaa!”
“Adi, nama kamu itu maknanya dalam banget lho.”
“Dalam apaan, ayah saya itu memberi nama itu waton
ngucapkok!”
“Hus! Ora ilok ngomongin orang tua begitu!”
“Iya Pak, ayah saya ngasih nama saya itu karena saya anak
kedua, jadi Adi, Adik, nah Kartiko itu kata ayah karena lahirnya pas hari
Kartini. Karena aku laki-laki, jadilah kartiko!”
“Oalahhh Di, Di, bukan itu maksudnya. Ayahmu pasti sedang
bercanda. Nama kamu itu sesungguhnya bagus banget. Adi itu artinya bagus,
Kartiko itu artinya bintang. Bintang yang bagus, bintang yang indah.”
“Tapi tidak islami.”
“Nggak apa-apa Di, Tuhan tidak menilai hambanya dari nama.
Bapak sendiri namanya tidak Islami, tapi bapak suka. Shalat juga, Bapak yakin
sholat Bapak diterima.”
“Begitukah Pak?”
“Pernah dengar nggak, di Jawa Barat ada Kyai terkenal,
tukang da’wah, namanya aneh, Kyai Balap Muda! Jamaahnya banyak .... laris ....
kondhang, apa jamaaah mempermasalahkan namanya?”
“Nggak tahu Pak!”
“Hahaaa.... ya sudahlah kalau kamu nggak tahu Di. Kalau
ayahmu mengatakan kamu mau jadi apa terserah Pak Guru, itu amanat. Jadi, aku
sarankan jadilah kamu santri .... masuk pesantren.”
“Kenapa Pak?”
“Siapa tahu, kamu adalah santri terakhir yang ada di dunia
ini!”
“Wuiiih ..... mengerikan sekali Pak!”
“Siapa tahu kamulah orang terakhir yang masuk sorga!”
“Wuiiih ..... enak sekali Pak! Mau Pak, mau ..... “
Melihat Adi tertawa senang, bibir Samekto terkatub. Ada
perasaan haru. Dalam pandangan dirinya, Adi adalah anaknya. Anak kandung tak
pernah dipercayakan kepada dirinya oleh Tuhan, mungkin anak inilah jalan menuju
dirinya menjadi ayah yang sesungguhnya.
Lebih terenyuh lagi, Adi Kartiko kini hanya hidup bersama
neneknya yang telah sakit-sakitan. Ayahnya, yang disebut Adi titip pesan kepada
Samekto, kini entah di mana rimbanya. Tak ada yang tahu. Amanat itupun hanya
diberi tahu nenek Adi kepada cucunya
itu.
***
Sebuah mobil merayap jalanan di punggung pegunungan.
dok-pri
dok-pri
Mata laki-laki pengemudinya nanar melihat pemandangan tempat
yang telah ia tinggalkan belasan tahun. Di suatu tempat yang dulu berdiri
sekolahnya, ia tak menemukan apa-apa lagi. Hanya ilalang dan batang-batang
singkong yang tak teratur. Desanya semakin sepi. Ia mencoba melihat ke beberapa arah. Bukit
yang berada di belakang sekolahnya tak ada. Longsor? Mungkin sekali. Namun ia
tak pernah mendengar kabar apapun.
Ketika beberapa anak kecil melintas di depannya, laki-laki
itu menanyakan.
“Ada yang tahu di mana rumah Pak Samekto? Pak Guru?”
“Ooo... Kakek Mekto? Terus sedikit lagi ke sana Pak!”
Telinganya brengingingmendengar kata “Kakek Mekto”. Setua
apakah Pak Guru Mekto? Pak Mektooo.... gumam laki-laki itu sambil menggelengkan
kepala. Waktu telah memisahkan dirinya dengan orang tua sekaligus gurunya. Itu
terjadi sebab ketika dirinya hendak hijrah ke pesantren di Jawa Timur, neneknya
meninggal. Tinggallah ia sebatang kara. Sepeninggal dirinya ke pesantren, nama
Samekto tak terlintas lagi di benaknya.
Sebuah kontemplasi yang ia lakukan akhir-akhir ini, rupanya
telah memutar ingatannya untuk kembali membayangkan desa kelahirannya. Tak ada
siapa-siapa. Guru. Hanya Samekto, Guru Samekto, yang mungkin masih bisa ditemui
untuk diziarahi.
Siang itu, Adi Kartiko, yang telah dikenal banyak orang
menjadi Kyai Adi Kartiko menangis di pelukan tubuh kurus kering. Wajah kuyu.
Pipi peot. Jemari gemetar semacam menderita tremor.
“Pak Guru ..... hhhh..... ibu kemana?”
“Ibumu sudah lama meninggal.”
“Ooo... inna lillahi wa inna ilaihi rojiuun.... Ibu ....
hanya ibu dan Pak Guru yang seharusnya aku temui di sini ..... aku terlambat
Paaakk....”
“Suu...suudahlah Adi... semua sudah takdir. Semua orang akan
berhenti pada titik yang digariskan Allah.”
“Siapa yang ngurus Bapak selama ini?” tanya Adi Kartiko
sambil menggenggam tangan gurunya. Matanya melihat ada secangkir air bening dan
setengah piring nasi. Hanya itu. Tanpa lauk-pauk.
“Nggaak ... nggaak ada ...”
“Bapaaakkkk...... kenapa nggak cari Adi ke pesantren? Kenapa
nggak ada yang ngabarin Adi?”
“Adi, bapak nggak penting bagi siapapun. Bapak bersyukur,
kadang masih ada yang peduli mengirim air dan nasi.”
“Kalau masih ada! Kalau tidak ada?!”
“Shaum ....”
“Bapaaaakkkk...... maafkan Adi Paaakkk.....” laki-laki itu
memeluk Samekto hingga berguncang-guncang.
“Adi.... ikhlaskan hatimu anakku.... kamu adalah monumen
bapak yang terakhir. Hanya ada satu harapan Bapak .... jadilah kamu menjadi
orang shaleh, panutan umat, jangan sombong. Kenapa? Yang berhak sombong hanya
Allah .... , rendah hati terhadap guru-gurumu di pesantren. Bu.... bukankah
sekarang kamu sudah jadi Kyai? Puluhan tahun merantau, mestinya sudah .....”
“Mestinya sudah .... mestinya sudaaaah..... dulu Bapak yang
menyuruh aku masuk pesantren, ilmu telah banyak di otakku ..... tapi kebaikan
terhadap Pak Guru tak ada di hatiku Pak Mektoooo........ aku menelantarkan
Bapak, melupakan..... hhh... hhh.....”
“Doakan Bapak ... Adi ....”
“Adi doakan. Selalu Adi doakan Pak. Hari ini juga Bapak aku
bawa ke rumahku. Biar Bapak tetap menjadi pelita hidupku ..... “
“Seandainya aku punya anak kandung .... anak sholeh ....
akan kuminta jariyah doa...”
“Aku anakmu Pak Guruuuuuuuuuu!!!! Anak kandungmuuuuu!”
“Bapak tak dipercaya Allah untuk mengasuh anak kandung.”
“Jangan bicara begitu Bapaaak.... aku... aku... Adi, anak
kandung Bapak .... jariyah untuk Bapak..... Bapak yang telah menjadi washilah
bagi aku untuk mengenal ilmu agama yang dalam dan luas, semua karena Bapak. Aku
adalah pikiran Bapak. Aku adalah jiwa Bapaaak.....”
“Adi ...... Di ....... “ kata-kata Samekto melemah. Adi
Kartiko menggenggam telapak tangan gurunya. Wajah Adi terhenyak. Telapak tangan
yang digenggamnya berubah jadi dingin. Anyep.
“Bapaaakk...... “ Adi berbisik dekat telinga.
“ .....lllah
...mu...hammad...darrosul...sul....lull....lll....hhhhh......” bersamaan dengan
kalimat yang melemah, mata Samekto terpejam perlahan.
Adi Kartiko menjerit memanggil-manggil nama gurunya.
Beberapa tetangga satu demi satu berdatangan. Mereka melihat ada orang yang
baru dikenalnya memeluk jasad Samekto. Laki-laki itu menangis ngguguk.
Angin semilir menerpa punggung perbukitan.
Tetangga yang berdatangan masih menunggu redanya tangis Adi
Kartiko yang masih mengguncang-guncang, membangunkan tubuh gurunya. ***
.
Keterangan Kata dalam Bahasa Jawa & Asing :
Brengkunung : Tidak mau dinasehati
Filial : Cabang
Waton ngucap :
Asal Bicara / Bicara Asal
Ora ilok : Tidak baik
Kondhang : Terkenal
Brenginging : Terdengar ada suara “nging-nging” di
dalam telinga
Tremor : Bergetar terus menerus
Anyep : Kelewat dingin
Ngguguk : Tersedu-sedu